Kamis, 02 Juli 2015

Me versus Kamar Mandi

Ketika kuliah dulu, saya berkesempatan menuntut ilmu yang diampu oleh salah satu dosen terbaik di kampus saya. Nama beliau adalah Bapak Budisetyo Prianggono. Beliau menimba ilmunya di tanah Uncle Sam, yang membuat gaya hidup beliau seperti umumnya orang US. Sikapnya yang tegas tak membuat beliau kehilangan sifat kebapakan yang mampu mengayomi sifat kekanakan kami ketika kuliah dulu. Kebiasaan beliau yang paling menonjol dan membuat kami, khususnya saya, begitu terkesan adalah mengecek kondisi kamar mandi/toilet di perpustakaan kampus yang dikepalainya saat itu. Bagi beliau, kebersihan sebagian dari iman merupakan pedoman hidup yang tak bisa ditawar lagi. Prinsip utama beliau adalah karakter seseorang sangat ditentukan oleh kondisi kamar mandi di rumahnya. Walaupun sangat ekstrem, perlahan-lahan prinsip beliau mengakar dalam benak saya. Saya seperti tersihir dengan prinsip yang beliau pegang hingga pada akhirnya saya menjadi pengagum kebersihan kamar mandi. Bayangkan saja, saya butuh waktu sekitar 60 hingga 90 menit untuk mengelus porselen di kamar mandi saya yang ukurannya hanya 1,25 m kali 1,75m. Memang kecil sekali untuk ukuran ibu-ibu gendut seperti saya. Bahkan untuk memandikan anak saya, saya harus rela berbasah-basah karena terciprat siraman air dari gayung saat memandikan si kecil. Namun ketika berada di dalam kamar mandi saat ritual pagi hari, saya sangat menikmati "keindahan" kamar mandi saya saking bersihnya kamar mandi saya. Kebiasaan ini akhirnya melahirkan sikap cenderung menilai karakter orang dari kondisi atau lebih tepatnya kebersihan kamar mandi seseorang. Bahwasanya semakin kotor kamar mandi seseorang maka otomatis saya berpikir bahwa karakter orang tersebut juga "tidak bersih". Awalnya saya hanya berpikir sepintas lalu saja. Akan tetapi pada akhirnya saya merasa tersiksa juga dengan aspek penilaian saya terhadap karakter seseorang. Dan pada saat akan melakukan lawatan ke luar negeri beberapa waktu silam saya seperti kena batunya. Atau mungkin jika menggunakan bahasa yang santun, saya merasa diingatkan oleh Allah SWT tentang kebiasaan saya untuk menilai karakter/kepribadian seseorang. Begini ceritanya. Awal Oktober 2013, madrasah tempat saya mengajar mengadakan kunjungan ke beberapa madrasah yang ada di Singapura dan Malaysia. Kami para guru dan beberapa karyawan berangkat dari Bandara Internasional Juanda Surabaya. Dari Malang kami berangkat pukul 2 dini hari dan tiba di Surabaya sebelum masuk waktu subuh. Yang namanya panggilan alam pagi hari membuat saya harus ke toilet bandara saat itu. Saya berpikir bahwa toilet bandara, apalagi yang internasional, pastilah kondisi kebersihannya teerjaga. Tapi entah mengapa, saat itu toilet sudah penuh sesak dengan antrean orang yang mengular sampai ke pintu masuh toilet. Ternyata, budaya kita yang primordiallah yang menyebabkan terjadinya antrean panjang di toilet pagi but awaktu itu. Kebiasaan kita, baca: orang desa, kalau ada kerabat yang akan naik pesawat, maka berbondong-bondonglah keluarganya ikut serta mengantar sampai ke bandara. Ya sudahlah. Mau apalagi saya, kalau tidak ikut serta berpartisipasi dalam antrean mahapanjang. Dan kesabaran saya pun mengantarkan saya ke depan pintu toilet paling ujung. Di toilet itu memang disediakan 3 bilik kamar mandi. Namun, yang bisa digunakan hanya dua saja. Di antara kedua bilik itu, pintu di depan saya tidak juga terbuka. Padahal bilik yang tengah sudah banyak juga yang bergiliran keluar masuk untuk buang hajat. Hmmm... Perlu meningkatkan kesabaran mengantre dan kekuatan untuk menahan hajat. Sampai akhirnya pintu di depan saya terkuak. Tampaklah seorang ibu yang berpenampilan ndeso. Ia keluar sambil mengumpat. Lah saya di depannya persis kok. Jadi saya mendengar betul apa yang dikeluhkannya. Katanya, "Toilet apaan ini? Ndak bersih!!" dengan wajahnya yang ketus. Alah, saya ndak mikir dengan apa yang dia keluhkan. Saya langsung masuk ke bilik tersebut. Daaaaaaaaaaaaaaaaan ....alamaaaaaaaaaak! Astaghfirullah hal adziim. Subhanallah! Astaghfirullah lagi. Dan lagi. Lagi-lagi saya istighfar di dalam bilik itu. Mana mungkin saya tidak istighfar dan memohon ampun kepada Allah ketika saya harus melihat pemandangan yang mengenaskan bagi anak manusia yang lemah seperti saya? Penasaran? Aduh saya ndak mau cerita sebenarnya. Takut saya yang nulis ini cerita jadi muntah-muntah. Apalagi kalau ada pembaca yang muntah, saya benar-benar gak enak. Yaaah yang saya liat adalah kotoran si ibu tadi nyiprat ke mana-mana. Di dinding, di lantai, di tempat samapah dalam toilet. Yang bisa saya lakukan adalah bersabar dengan membersihkan semua cipratan kotoran si ibu dengan mata terpejam tetapi sebentar-sebentar saya picingkan mata untuk mengintip zona mana yang belum bersih. Huft! Ternyata sebagai orang ndeso yang mungkin BAB-nya di sungai, si ibu gak bakal kebingungan untuk menghilangkan jejak hajatnya karena aliran air sungai telah menyingkirkan kotoran di depan matanya. Tapi kloset bandara menggunakan teknologi menyiram kotoran kita dengan cara menarik tuas di belakang kita walaupun jenis klosetnya adalah kloset jongkok. Dan si ibu menyiram kotorannya dengan cara menyemprotnya dengan selang air yang seharusnya dipakai untuk bercebok. Yaahhh... apalah apalah! Walhasil, pagi itu saya salat subuh dengan diakhiri doa yang sangat panjang atas teguran Allah yang sangat indah itu. Dan kesadaran saya untuk tidak lagi menilai kepribadian seseorang dari tingkat kebersihan kamar mandinya muncul juga subuh itu. Dan saya berangkat ke Singapura dengan hati yang sangat gembira. Aneh ya?