Rabu, 05 Maret 2014

Idealisme vs Realitas

Rabu, 5 Maret 2014 Sebagai guru bahasa di sebuah madrasah aliyah di pusat Kota Malang, saya cukup berbangga hati melihat hasil penerimaan siswa baru yang nota bene ber-IQ tinggi. Akan tetapi, apalah artinya berotak cerdas jika kemampuan berpikir dan daya juang siswa tidak secerdas otak mereka. Atau mungkin saya yang terlalu berharap? Namun, setidaknya saya pasti menginginkan agar siswa saya bisa memanfaatkan kecerdasan otak mereka untuk mengerjakan tugas dari saya dengan bersungguh hati. Tingkat kecerdasan yang seringkali -baca: umumnya- digunakan untuk menguji kelayakan diterimanya seorang siswa masuk ke dalam sebuah lembaga adalah kecerdasan kognitif. Memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, tetap saja butuh pertimbangan lain agar calon siswa bisa diterima dengan standar kelayakan yang bisa diterima dengan lapang dada oleh semua pihak. Dalam mata pelajaran bahasa dan sastra yang saya ampu, terdapat empat keterampilan berbahasa yang dijadikan sebagai pokok materi yang wajib dikuasai oleh siswa. Keempat keterampilan itu adalah keterampilan mnyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempatnya saling berkaitan karena tidaklah seseorang itu terampil berbicara sebelum ia terampil menyimak informasi di sekitarnya. Pun ketika seseorang diharapkan untuk dapat terampil menulis harus memenuhi syarat terampil membaca terlebih dahulu. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak suka membaca. Faktor utamanya tentu berasal dari kebiasaan yang ditanamkan di kehidupan rumah. Banyak orang yang beranggapan bahwa membaca adalah kegiatan yang membosankan sekaligus tidak berguna. Ada juga anggapan yang beredar di masyarakat bahwa aktivitas membaca adalah sebuah bentuk pemborosan semata. Adanya anggapan tersebut tentu tidak sekadar isapan jempol belaka. Selalu ada alasan di balik semua kejadian. Mahalnya harga buku yang tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat kita dianggap sebagai alasan terbesar, alasan terkuat, bahkan alasan yang sangat mendasar. Manalah mungkin orang dapat membeli buku jika untuk memenuhi kebutuhan pangan atau bahkan kebutuhan papan saja masih terengah-engah. Dan lebih tidak mungkin lagi jika harus membaca buku dan kemudian mendiskusikannya di tengah keluarga jika seluruh waktu habis tak tersisa lagi untuk bekerja banting tulang demi upah yang tak seberapa. Jadi, dengann semua alasan itulah saya berusaha memafhumkan jika ternyata saya harus dihadapkan pada fenomena sosial yaitu tumpulnya kreativitas dan daya serap siswa saya terhadap mata pelajaran yang saya ampu ini. Bahkan saya harus maklum jika daya juang siswa masa kini harus layu sebelum berkembang. Dengan kondisi yang ada inilah mungkin yang akan menjadi ladang ibadah saya. Menanamkan kesadaran siswa terhadap pentingnya budaya membaca, budaya bicara di forum ilmiah untuk membahas masalah-masalah ilmiah, menjaga kesantunan dalam berkomunikasi dengan berbagai tingkatan usia, sosial, pendidikan, agama, ras, budaya, bahkan nasionalisme dengan menjaga keutuhan pribadi yang benar-benar mengindonesia. Allahumma ma'ana, saya yakin Allah bersama dalam setiap langkah saya mencerdaskan generasi Indonesia yang saya cintai selamanya. Amin.