Kamis, 14 Januari 2016

R E S A H

Aku mencari selusur jejakmu di sepanjang garis pantai yang pernah kita susuri bersama di masa lalu Aku gelisah meresah sepanjang ingatan yang terluka saat kau berucap cinta tak lagi singgah di hatimu untukku Aku murka memuncak gelora yang tlah lama tertunda ketika rindu menggemuruh menggulung jiwa yang terlalu lama tersiksa oleh rindu yang tak bertentu tuju

Kamis, 02 Juli 2015

Me versus Kamar Mandi

Ketika kuliah dulu, saya berkesempatan menuntut ilmu yang diampu oleh salah satu dosen terbaik di kampus saya. Nama beliau adalah Bapak Budisetyo Prianggono. Beliau menimba ilmunya di tanah Uncle Sam, yang membuat gaya hidup beliau seperti umumnya orang US. Sikapnya yang tegas tak membuat beliau kehilangan sifat kebapakan yang mampu mengayomi sifat kekanakan kami ketika kuliah dulu. Kebiasaan beliau yang paling menonjol dan membuat kami, khususnya saya, begitu terkesan adalah mengecek kondisi kamar mandi/toilet di perpustakaan kampus yang dikepalainya saat itu. Bagi beliau, kebersihan sebagian dari iman merupakan pedoman hidup yang tak bisa ditawar lagi. Prinsip utama beliau adalah karakter seseorang sangat ditentukan oleh kondisi kamar mandi di rumahnya. Walaupun sangat ekstrem, perlahan-lahan prinsip beliau mengakar dalam benak saya. Saya seperti tersihir dengan prinsip yang beliau pegang hingga pada akhirnya saya menjadi pengagum kebersihan kamar mandi. Bayangkan saja, saya butuh waktu sekitar 60 hingga 90 menit untuk mengelus porselen di kamar mandi saya yang ukurannya hanya 1,25 m kali 1,75m. Memang kecil sekali untuk ukuran ibu-ibu gendut seperti saya. Bahkan untuk memandikan anak saya, saya harus rela berbasah-basah karena terciprat siraman air dari gayung saat memandikan si kecil. Namun ketika berada di dalam kamar mandi saat ritual pagi hari, saya sangat menikmati "keindahan" kamar mandi saya saking bersihnya kamar mandi saya. Kebiasaan ini akhirnya melahirkan sikap cenderung menilai karakter orang dari kondisi atau lebih tepatnya kebersihan kamar mandi seseorang. Bahwasanya semakin kotor kamar mandi seseorang maka otomatis saya berpikir bahwa karakter orang tersebut juga "tidak bersih". Awalnya saya hanya berpikir sepintas lalu saja. Akan tetapi pada akhirnya saya merasa tersiksa juga dengan aspek penilaian saya terhadap karakter seseorang. Dan pada saat akan melakukan lawatan ke luar negeri beberapa waktu silam saya seperti kena batunya. Atau mungkin jika menggunakan bahasa yang santun, saya merasa diingatkan oleh Allah SWT tentang kebiasaan saya untuk menilai karakter/kepribadian seseorang. Begini ceritanya. Awal Oktober 2013, madrasah tempat saya mengajar mengadakan kunjungan ke beberapa madrasah yang ada di Singapura dan Malaysia. Kami para guru dan beberapa karyawan berangkat dari Bandara Internasional Juanda Surabaya. Dari Malang kami berangkat pukul 2 dini hari dan tiba di Surabaya sebelum masuk waktu subuh. Yang namanya panggilan alam pagi hari membuat saya harus ke toilet bandara saat itu. Saya berpikir bahwa toilet bandara, apalagi yang internasional, pastilah kondisi kebersihannya teerjaga. Tapi entah mengapa, saat itu toilet sudah penuh sesak dengan antrean orang yang mengular sampai ke pintu masuh toilet. Ternyata, budaya kita yang primordiallah yang menyebabkan terjadinya antrean panjang di toilet pagi but awaktu itu. Kebiasaan kita, baca: orang desa, kalau ada kerabat yang akan naik pesawat, maka berbondong-bondonglah keluarganya ikut serta mengantar sampai ke bandara. Ya sudahlah. Mau apalagi saya, kalau tidak ikut serta berpartisipasi dalam antrean mahapanjang. Dan kesabaran saya pun mengantarkan saya ke depan pintu toilet paling ujung. Di toilet itu memang disediakan 3 bilik kamar mandi. Namun, yang bisa digunakan hanya dua saja. Di antara kedua bilik itu, pintu di depan saya tidak juga terbuka. Padahal bilik yang tengah sudah banyak juga yang bergiliran keluar masuk untuk buang hajat. Hmmm... Perlu meningkatkan kesabaran mengantre dan kekuatan untuk menahan hajat. Sampai akhirnya pintu di depan saya terkuak. Tampaklah seorang ibu yang berpenampilan ndeso. Ia keluar sambil mengumpat. Lah saya di depannya persis kok. Jadi saya mendengar betul apa yang dikeluhkannya. Katanya, "Toilet apaan ini? Ndak bersih!!" dengan wajahnya yang ketus. Alah, saya ndak mikir dengan apa yang dia keluhkan. Saya langsung masuk ke bilik tersebut. Daaaaaaaaaaaaaaaaan ....alamaaaaaaaaaak! Astaghfirullah hal adziim. Subhanallah! Astaghfirullah lagi. Dan lagi. Lagi-lagi saya istighfar di dalam bilik itu. Mana mungkin saya tidak istighfar dan memohon ampun kepada Allah ketika saya harus melihat pemandangan yang mengenaskan bagi anak manusia yang lemah seperti saya? Penasaran? Aduh saya ndak mau cerita sebenarnya. Takut saya yang nulis ini cerita jadi muntah-muntah. Apalagi kalau ada pembaca yang muntah, saya benar-benar gak enak. Yaaah yang saya liat adalah kotoran si ibu tadi nyiprat ke mana-mana. Di dinding, di lantai, di tempat samapah dalam toilet. Yang bisa saya lakukan adalah bersabar dengan membersihkan semua cipratan kotoran si ibu dengan mata terpejam tetapi sebentar-sebentar saya picingkan mata untuk mengintip zona mana yang belum bersih. Huft! Ternyata sebagai orang ndeso yang mungkin BAB-nya di sungai, si ibu gak bakal kebingungan untuk menghilangkan jejak hajatnya karena aliran air sungai telah menyingkirkan kotoran di depan matanya. Tapi kloset bandara menggunakan teknologi menyiram kotoran kita dengan cara menarik tuas di belakang kita walaupun jenis klosetnya adalah kloset jongkok. Dan si ibu menyiram kotorannya dengan cara menyemprotnya dengan selang air yang seharusnya dipakai untuk bercebok. Yaahhh... apalah apalah! Walhasil, pagi itu saya salat subuh dengan diakhiri doa yang sangat panjang atas teguran Allah yang sangat indah itu. Dan kesadaran saya untuk tidak lagi menilai kepribadian seseorang dari tingkat kebersihan kamar mandinya muncul juga subuh itu. Dan saya berangkat ke Singapura dengan hati yang sangat gembira. Aneh ya?

Rabu, 05 Maret 2014

Idealisme vs Realitas

Rabu, 5 Maret 2014 Sebagai guru bahasa di sebuah madrasah aliyah di pusat Kota Malang, saya cukup berbangga hati melihat hasil penerimaan siswa baru yang nota bene ber-IQ tinggi. Akan tetapi, apalah artinya berotak cerdas jika kemampuan berpikir dan daya juang siswa tidak secerdas otak mereka. Atau mungkin saya yang terlalu berharap? Namun, setidaknya saya pasti menginginkan agar siswa saya bisa memanfaatkan kecerdasan otak mereka untuk mengerjakan tugas dari saya dengan bersungguh hati. Tingkat kecerdasan yang seringkali -baca: umumnya- digunakan untuk menguji kelayakan diterimanya seorang siswa masuk ke dalam sebuah lembaga adalah kecerdasan kognitif. Memang tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, tetap saja butuh pertimbangan lain agar calon siswa bisa diterima dengan standar kelayakan yang bisa diterima dengan lapang dada oleh semua pihak. Dalam mata pelajaran bahasa dan sastra yang saya ampu, terdapat empat keterampilan berbahasa yang dijadikan sebagai pokok materi yang wajib dikuasai oleh siswa. Keempat keterampilan itu adalah keterampilan mnyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempatnya saling berkaitan karena tidaklah seseorang itu terampil berbicara sebelum ia terampil menyimak informasi di sekitarnya. Pun ketika seseorang diharapkan untuk dapat terampil menulis harus memenuhi syarat terampil membaca terlebih dahulu. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak suka membaca. Faktor utamanya tentu berasal dari kebiasaan yang ditanamkan di kehidupan rumah. Banyak orang yang beranggapan bahwa membaca adalah kegiatan yang membosankan sekaligus tidak berguna. Ada juga anggapan yang beredar di masyarakat bahwa aktivitas membaca adalah sebuah bentuk pemborosan semata. Adanya anggapan tersebut tentu tidak sekadar isapan jempol belaka. Selalu ada alasan di balik semua kejadian. Mahalnya harga buku yang tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat kita dianggap sebagai alasan terbesar, alasan terkuat, bahkan alasan yang sangat mendasar. Manalah mungkin orang dapat membeli buku jika untuk memenuhi kebutuhan pangan atau bahkan kebutuhan papan saja masih terengah-engah. Dan lebih tidak mungkin lagi jika harus membaca buku dan kemudian mendiskusikannya di tengah keluarga jika seluruh waktu habis tak tersisa lagi untuk bekerja banting tulang demi upah yang tak seberapa. Jadi, dengann semua alasan itulah saya berusaha memafhumkan jika ternyata saya harus dihadapkan pada fenomena sosial yaitu tumpulnya kreativitas dan daya serap siswa saya terhadap mata pelajaran yang saya ampu ini. Bahkan saya harus maklum jika daya juang siswa masa kini harus layu sebelum berkembang. Dengan kondisi yang ada inilah mungkin yang akan menjadi ladang ibadah saya. Menanamkan kesadaran siswa terhadap pentingnya budaya membaca, budaya bicara di forum ilmiah untuk membahas masalah-masalah ilmiah, menjaga kesantunan dalam berkomunikasi dengan berbagai tingkatan usia, sosial, pendidikan, agama, ras, budaya, bahkan nasionalisme dengan menjaga keutuhan pribadi yang benar-benar mengindonesia. Allahumma ma'ana, saya yakin Allah bersama dalam setiap langkah saya mencerdaskan generasi Indonesia yang saya cintai selamanya. Amin.

Senin, 09 Desember 2013

Kecelakaan Bintaro

Selasa, 10 Desember 2013 Pagi ini saya memiliki waktu untuk sekadar membersihkan rumah sesaat sebelum berangkat kerja. Membersihkan rumah pagi ini sebenarnya tidak bisa terlalu disebut bersih sekali karena hanya menyapu sebagian lantai di ruang TV, ruang makan, dan tiga kamar tidur. Untungnya, setelah memasak tadi pagi saya masih menyempatkan diri membersihkan lantai dapur, mencuci sebuah lap kotor yang baru saya pergunakan untuk mengelap meja makan. Tapi sekali lagi saya harus menimbang antara keinginan saya untuk segera mandi dan membersihkan diri atau mencuci sapu. Ada tiga buah sapu yang tergantung di dinding dapur, satu untuk ruang dalam rumah, satu untuk dapur, dan satu lagi untuk membersihkan teras. Kondisi ketiganya kotor akut (kronis?). Saat sarapan (padahal belum mandi), saya sempatkan mengikuti berita kecelakaan antara KRL dan truk tangki Pertamina di Bintaro-Jakarta. Seingat saya, kecelakaan kereta di daerah Bintaro ini bukankali pertama. Saya tidak seberapa ingat kapan tepatnya peristiwa kecelakaan kereta yang sebelumnya terjadi. Kalau saya pikir, kecelakaan seperti itu jangan sampai terjadi lagi. Alangkah sayangnya jika lima nyawa berpulang ketika kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik masih terbuka lebar. Seharusnya peristiwa kecelakaan sebelumnya sudah menjadi pelajaran bagi kita untuk meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dengan kecerdasan berpikir yang selama ini kita miliki, seharusnya kita bisa belajar dari satu musibah untuk bisa lebih bijak menjalani hidup ini. Kita bisa belajar dari peristiwa yang tidak mengenakkan dari musibah yang terjadi bukan? Apa penyebab kecelakaan itu, bagaimana menghindari sebuah musibah, dan bagaimana menyiapkan diri agar sedapat mungkin kita bisa menghindarkan diri dari terulangnya musibah tersebut. Mungkin pada awalnya kita akan merasa kesulitan untuk melakukan apa yang saya katakan di sini. Akan tetapi manusia bijak akan selalu bisa menemukan solusi tepat bagi setiap masalah yang datang kepadanya. Di sisi lain, seharusnya pemerintah mulai merancang bagaimana menyediakan fasilitas umum yang lebih bisa menjamin keselamatan warganya saat di jalanan. Kita lihat saja bagaimana ruwetnya kondisi jalan raya kita. Banyaknya billboard atau papan reklame, baliho, spanduk, umbul-umbul, dan lain sebagainya terpampang bebas dan berkibar-kibar menutupi marka jalan. Bahkan yang lebih parah adalah terpecahnya perhatian para pengendara yang "harus" membaca iklan komersial yang ada di kanan, kiri, dan di atas jalan raya. Oh, come on... Marilah kita belajar dari negara-negara tetangga di sekitar kita. Australia, misalnya, atau Singapura? Pemerintah di kedua negara ini tidak mengizinkan warganya memasang selebaran, pamflet, apalagi baliho atau sepanduk di area publik. Dengan demikian, jalan-jalan di sana benar-benar bersih dari pandangan yang bisa membuat mata sumpek. Lalu bagaimana jika seseorang atau sebuah perusahaan bisa mengiklankan produknya? Mereka bisa membuat brosur yang dikirimkan ke rumah-rumah penduduk. Jadi, seharusnya pemerintah tidak perlu membuang uang negara untuk kegiatan studi banding yang lebih banyak acara plesirnya dan tak pernah membuat suatu perubahan besar bagi kehidupan nyata di masyarakat. Yang perlu dilakukan oleh pejabat pemerintah yang terhormat adalah banyaklah membaca agar wawasan kebangsaan bisa dicapai dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Dan tentu saja Anda harus lebih sering turun gunung untuk melihat kondisi kehidupan masyarakat yang harus Anda layani. Akhirnya, pagi itu perenungan saya, saya tutup dengan mencuci lima buah sapu karena ternyata di dinding garasi ada lagi dua buah sapu kotor. Selesai mencuci sapu, dua buah keranjang sampah, dan sebuah pengki, saya mandi menyegarkan diri dengan menyabun tubuh saya dua kali karena bau sampah seperti menempel erat di sekujur tubuh saya pagi itu.

Rabu, 05 Desember 2012

Penulisan Karya Ilmiah dengan Cara yang Tidak Ilmiah

Setelah sekian kali menjadi juri di lomba KIR, baru kemarin saya mampu menggeneralisasi kesalahan umum yang kerap dilakukan oleh penulis (dalam hal ini peserta lomba KIR). Yang pertama adalah kesalahan penerapan kaidah penulisan, terutama ejaan. dalam hal ini adalah kesalahan penulisan huruf kapital. Untuk penulisan nama diri dan nama geografis, peserta cenderung mengabaikan penggunaan huruf kapital. Misalnya penulisan judul karya: Kerusakan lingkungan di desa brongkal kecamatan kanigoro. Seharusnya Kerusakan Lingkungan di Desa Brongkal Kecamatan Kanigoro. Belum lagi penulisan kata-kata baku yang tidak sesuai dengan EyD. Contoh:standarisasi (standardisasi), sistim/system (sistem), prosentase (persentase), dll. Belum lagi kesalahan penulisan imbuhan di/di-. Umumnya mereka kesulitan membedakan mana di yang harus ditulis disambung dan mana yang harus dipisah penulisannya. Sebenarnya mudah sekali membedakan penulisan bentuk di. Yang pertama ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya jika menyatakan tempat, contoh: di rumah, di kelas, di meja. yang kedua ditulis serangkai jika menyatakan tindakan dan imbuhan di- berkorelasi dengan penggunaan imbuhan me-, contoh: dipukul, dirayu, dimakan. Kesalahan umum berikutnya adalah kesalahan penalaran kalimat. Coba perhatikan kalimat berikut. Menurut Joice, Weill, dan Shower (1987) menyatakan.... Seharusnya, ketika kita menggunakan kata menurut, kalimat tersebut tidak perlu dilanjutkan dengan kata 'menyatakan'. Jadi pilih salah satunya saja. kesalahan ini biasanya dilakukan penulis ketika ia hanya mengopi artikel dari situs internet. Yang selanjutnya diikuti kesalahan yang lebih fatal lagi yaitu penulisan daftar pustaka. biasanya, penulis cenderung berpikir bahwa penulisan Daftar Pustaka harus "penuh" agar terlihat "keren". Padahal, penulisan daftar pustaka adalah kewajiban moral kita terhadap penulis buku karena kita mengutip pendapatnya untuk kita jadikan sebagai landasan teori dalam makalah kita.